Tikar Pandan dan Sumber Penghidupan Perempuan di Desa Ngembel

Meiningtiyas 30 September 2018 19:15:30 WIB

Oleh: Dian Meiningtias


Dalam regulasi sosial-ekonomi, khususnya di Trenggalek, sulit untuk tidak melibatkan para pekerja perempuan dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Jauh sebelum kita mengenal lebih dalam mengenai spirit-feminis, pun dengan makin santernya gema penyadaran atas bias dominasi dalam ranah publik, perempuan Trenggalek, sejauh yang saya ingat, telah menempati porsinya sebagai perempuan pekerja. Mereka sudah berjibaku dengan pekerjaan di ranah publik, tanpa meninggalkan peran domestiknya.


Gambaran paling mudah dan sederhana yang dapat kita ambil adalah banyaknya perempuan yang bekerja di ranah publik sebagai pedagang di pasar-pasar. Sedang bagi mereka yang memutuskan bekerja di ranah domestik (pekerjaan kerumah-tanggaan), tidak sedikit para perempuan desa dan ibu-ibu yang masih bekerja sampingan guna mencukupi kebutuhan rumah. Dari aktivitas sampingan inilah, kita bisa masuk dan menggali berbagai aktivitas perempuan dalam menambah penghasilan keluarga. Ini jauh sebelum perempuan-perempuan terlibat dalam kerja-kerja formal yang melembaga.


Tentu dalam hal ini, kita tidak akan membahas berbagai ketimpangan peran dalam ranah keluarga. Di mana perempuan pekerja adalah mereka yang memangku peran ganda; berperan sebagai ibu rumah tangga sekaligusbertanggung jawab atas pekerjaan yang menjadi profesinya. Sekali lagi, bahasan kitahanya akan mengulas mengenai pekerja perempuan dalam upaya meningkatkan penghasilan bagi keluarga lewat keterampilan yang mereka tekuni.


***


Jauh sebelum kegiatan urbanisasi memungkinkan perempuan berangkat ke kota sampai luar negeri untuk menjadi TKW, perempuan di desa saya pada umumnya menambah penghasilan keluarga lewat keahlian membuat anyaman tikar pandan. Aktivitas menganyam sendiri adalah salah satu kegiatan yang dikerjakan dengan keterampilan turun-temurun,di samping pekerjaan utama mengurus rumah tangga. Sebuah pekerjaan sampingan yang menjadi pilihan bagi beberapa perempuan yang memungkinkan mereka dapat mengerjakan pekerjaan rumah, dekat dengan keluarga setiap harinya.Kerja sambilan yang kreatifuntuk mendatangkan penghasilan tambahan.


Pada umumnya, pandan (pandanus) adalah tumbuhan berbentuk pita, berwarna hijau tua dan kaku. Tumbuhan liar ini banyak dijumpai di ladang maupun kebun milik masyarakat desa saya. Belakangan tanaman ini berfungsi sebagai tanaman pengikat tanah yang sengaja ditanam di lahan dengan kontur tanah miring. Selain itu, masyarakat juga membudidayakan tanaman ini untuk dipakai sendiri ataupun untuk dijual kepada tetangga yang menjadi penganyam tikar. Anyaman tikar inilah yang kemudian dijual oleh para pengrajinnya, baik secara kolektif maupun satuan kepada penjual yang datang ke rumah-rumah maupun ke pasar setiap hari pasaran.


Untuk anyaman tikar dibandrol dengan harga yang variatif: umumnya harga satuan untuk tikar kecil kisaran Rp 10.000,- sementara untuk tikar yang ukurannya lebih besar mencapai Rp 25.000,-. Harga tersebut adalah harga umum penjualan.Jika cuaca buruk harganya bisa turun di pasaran. Satu tikar kecil pernah dihargai Rp 7.000,-. Selain itu, kisaran harga tidak bisa disama-ratakan pada setiap tikarnya: menyesuaikankualitas anyaman tikar,dipengaruhi tingkat keahlian pengrajin.


Sementara untuk tenggang penggarapannya, satu tikar kecil yang dikerjakan tanpa kesibukan bisa selesai dalam satu hari. Atau bagi mereka yang hanya mengerjakannya pada malamhari di samping kegiatan bertani, tikar bisa selesai dalam waktu satu malam. Ini sekadar idealnya sebuah pengerjaan buah kerajinan. Nyatanya satu tikar dapat diselesaikan dalam waktu beberapa hari; tergantung kesibukan si pengrajin. Aktivitas menganyam tikar biasanya menggunakan tempat lantai yang lebar, minimal selebar karpet. Sehingga masyarakat cenderung melipatnya apabila mengganggu aktivitas lain,menyesuaikan kondisi tempat.


Tidak hanya itu, menganyam tikar dari pandan adalah aktivitas yang membutuhkan ketelatenan, tempat yang memadai juga tenaga dan waktu yang lama. Waktu dan tenaga tersebut meliputi,kegiatan pengambilan pandan di kebun, membersihkan duri pandan, pengeringan di bawah terik matahari yang butuh waktu beberapa hari (menyesuaikan cuaca).Lamanya waktu pengerjaan yang disesuaikan dengan kesibukan pengrajin, dan persoalan penjualan di pasaran yang bernilai minim.


Aktivitas masyarakat di desa saya dalam menekuni keterampilan membuat anyaman tikar dari pandan adalah aktivitas (pekerjaan) turun-temurun. Dari saya kecil ketika listrik belum masuk desa sampai hari ini,perempuan yang mengayam tikar dari pandan masih tetap ada. Bedanya, jika dulu kaum muda banyak yang menekuninya sebagai pekerjaan sampingan, kini hanya perempuan tua yang menekuni aktivitas menganyam ini sebagai penambah penghasilan keluarga. Bahkan saya, yang dulu pernah belajar membuat anyaman, kini lupa cara memulainya.


***


Desa sendiri merupakan sebuah dimensi ruang, di mana kehidupan lahir dari rahim keseharian dengan ragam tradisi penduduknya. Sementara kompleksitas persoalan yang tercipta di lingkungan menjadi tanggung jawab para penduduknya. Dari proses terciptanya anyaman tikar saja, kita bisa sedikit memberi gambaran. Bahwa mereka yang sampai hari ini masih menekuni kerajinan anyaman tikar, adalah mereka yang memiliki keterampilan, kemauan, ketersediaannya bahan baku di lingkungan tempat tinggal, dan sisanya benturan keadaan.


Tentu saya tidak sedang mengajak mereka yang muda atau yang memiliki keterampilan lain untuk menutup diri dalam aktivitas belajar membuat anyaman tikar atau berproses mengubur keterampilan yang nyatanya lebih menguras tenaga. Tidak. Karena seperti yang sudah-sudah “demi menghormati supremasi keilmuan” kita bisa belajar apa saja dan menggali lebih dalam kompleksitas persoalan dari dalam.


Perspektif tulisan ini tidak lahir sendiri atau jatuh dari langit.Adalah Doni Farochin, salah satu Pendamping Keluarga Harapan (PKH),yang sejak 2016 bertugas mendampingi Keluarga Penerima Manfaat di desa saya (Desa Ngembel, Watulimo), yang sempat memaparkan bahwa keterampilan keluarga dampingannya secara menyeluruh adalah menganyam tikar dari pandan.Sebuah kondisi yang nyatanya tidak membuat keluarga dari masing-masing dampingannya dapat meningkat,tersebab nilai jual dari tikar yang minim.


Dari sana, kami yang terbiasa terjun di bidang pengembangan, berpikir bagaimana menggeser pola masyarakat kreatif dalam membuka segmen baru dari keterampilan awal yang telah dimiliki dan mereka tekuni. Mengingat keterampilan yang lahir dari hasil kerajinan masyarakat masih dalam tahap kerajinan biasa. Biasa, dalam hal ini artinya adalah, kerajinan dengan bentuk sejenis, yaitu anyaman tikar dengan harga yang minim.


Mestinya perlu adanya pengembangan keterampilan yang mengubah anyaman tikar menjadi aneka produk kerajinan tangan baru,dengan nilai ekonomi yang bernilai jual tinggi. Misalnya saja produk anyaman yang dapat dibentuk menjadi dompet, tas, topi, tempat tisu, tempat buah, lampu hias, pigura, serta beberapa hiasan ruangan lainnya. Bagaimanapun, sangat disayangkan jika keterampilan ini hanya berhenti pada kemampuan membuat tikar, dengan nilai penjualan yang minim.


***


Gejala urbanisasi tentu ada korelasinya dengan transformasi menuju kota industri. Di sini kita tidak sedang membayangkan wajah Trenggalek dalam bingkai industri manufaktur. Sedikit bayangan saya adalah sebuah kota industri yang sedikit banyak memberi ruang bagi keterampilan masyarakatnya. Sehingga sangat mungkin jika keterampilan pembuatan tikar dari pandan ini dikembangkan menjadi sebuah keterampilan tambahan yang memiliki nilai jual tinggi.


Bayangkan jika sebuah anyaman pandan (contoh kecil di luar berbagai keterampilan lain di Trenggalek) dikembangkan dalam sebuah karya seni lain, dengan ditunjang dengan strategi pemasaran yang baik.Maka kita bukan hanya menciptakan lapangan pekerjaan baru, melainkan juga mampu menekan tingkat urbanisasi yang banyak menyerap tenaga produktif: meminimalisirtenaga terdidik Trenggalek yang memilih keluar daerahnya.


Maka, jika kita berpijak pada E.P. Thompson (1963), kesadaran kelas adalah proses historis yang tidak begitu saja terbentuk semata-mata karena posisi ekonominya sebagai agen kelas. Kesadaran kelas dibentuk dan ditransformasikan dalam proses sejarah konflik kepentingan.Hal yang mungkin kita lakukan di tengah semangat pembangunan Trenggalek, serta ketertarikan saya terhadap dunia perempuan adalah, upaya menggiring kesadaran kolektif, bahwa keahlian para perempuan dapat diakumulasikan sebagai seni yang dapat menjadi rantai kelangsungan kehidupan dan upaya merawat dan meningkatkan keterampilan masyarakatnya.


*tulisan pernah dimuat di nggalek.co

Komentar atas Tikar Pandan dan Sumber Penghidupan Perempuan di Desa Ngembel

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Komentar
 

Layanan Mandiri


Silakan datang / hubungi perangkat Desa untuk mendapatkan kode PIN Anda.

Masukkan NIK dan PIN!

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Jumlah pengunjung

Lokasi Ngembel

tampilkan dalam peta lebih besar